DEEP Indonesia Soroti Gelombang Demonstrasi, Kecam Represi dan Desak Perubahan Nyata

JAKARTA – Gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah, termasuk di Jakarta, Jawa Barat, Makassar dan wilayah lainnya, menunjukkan bahwa krisis kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif dan eksekutif telah sampai pada titik yang mengkhawatirkan.

Aksi massa yang menuntut penghentian kenaikan tunjangan DPR, pembubaran DPR, hingga percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset adalah refleksi dari keresahan mendalam masyarakat terhadap praktik politik yang semakin jauh dari kepentingan rakyat.

Berbagai kebijakan seperti pemblokiran rekening oleh PPATK, penyitaan aset tanah oleh negara, sulit mencari lapangan pekerjaan dan sejumlah kebijakan lain yang kontroversi menjadi puncak akumulasi kemarahan rakyat.

Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati, menegaskan bahwa aksi yang berlangsung saat ini tidak bisa direduksi sebagai aksi sporadis. Ia adalah suara rakyat yang memuncak karena terlalu lama diabaikan.

“Tuntutan mengenai pembubaran DPR dan penghentian tunjangan berlebihan adalah simbol perlawanan terhadap sistem yang gagal menghadirkan keadilan. Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin meredam gelombang kekecewaan, maka jawabannya bukan sekedar retorika, melainkan langkah nyata dengan perubahan kebijakan seperti mengesahkan RUU Perampasan Aset, mereformasi tata kelola anggaran, memperbaiki komunikasi publik, menghentikan seluruh kebijakan yang menyengsarakan rakyat,” kata Neni, saat dihubungi Minggu (31/8/2025).

DEEP Indonesia menilai bahwa turunnya sejumlah kepala daerah ke jalan ikut bersama massa aksi merupakan tanda bahwa isu telah menembus batas politik formal.

“Namun, dukungan ini hanya akan berarti apabila diikuti keberanian mereka memperjuangkan substansi tuntutan di jalur kebijakan, bukan sekedar pencitraan politik,” ujar Neni.

Kepala daerah yang ikut aksi harus menunjukan keberpihakan yang konsisten. Jika mereka sungguh-sungguh bersama rakyat, maka perjuangan itu mesti dilanjutkan dengan mendorong regulasi transparan, memperjuangkan akuntabilitas, dan memotong praktik anggaran elitis.

Tanpa itu, kehadiran mereka di jalan hanyalah simbolis tidak bermakna. Melihat dinamika yang terjadi, DEEP Indonesia menyampaikan beberapa hal krusial:

1. Hentikan segala bentuk represi dan kekerasan aparat terhadap gerakan rakyat, Reformasi Polri secara menyeluruh. Karena demokrasi hanya bisa hidup dalam ruang kebebasan suara rakyat.

2. Segera sahkan RUU Perampasan Aset sebagai langkah konkret memberantas korupsi dan mengembalikan kepercayaan publik.

3. Hentikan kebijakan tunjangan berlebihan bagi DPR yang menambah beban psikologis dan ekonomi rakyat.

4. Bangun mekanisme transparansi dan akuntabilitas anggaran di semua level pemerintahan, termasuk daerah.

5. Mendesak pemerintah dan DPR segera membuka ruang dialog substantif dengan rakyat untuk menjawab dengan konkret tuntutan rakyat.

6. Mengingatkan bahwa civil society untuk terus mengawal demokrasi agar tidak jatuh ke dalam praktik otoritarianisme.

Sementara itu, aksi demonstrasi yang sudah menelan korban luka dan jiwa harus menjadi alarm keras bagi seluruh pimpinan bangsa. Negara tidak boleh menutup telinga.

DEEP Indonesia, lanjut Neni, juga menyoroti praktik pembungkaman media yang kian mengkhawatirkan.

Menurutnya, Pemutusan siaran langsung di sejumlah platform media sosial serta tekanan terhadap media mainstream untuk membatasi pemberitaan aksi rakyat adalah bentuk pelemahan demokrasi yang serius.

“Menghalangi publik untuk mendapatkan informasi yang jujur dan transparan hanya akan memperbesar jarak antara negara dan rakyat,” jelas Neni.

“Persekutuan gelap antara pemerintah dan DPR harus segera diakhiri. Berapa lagi nyawa rakyat harus melayang hanya karena kebijakan yang dipaksakan dan ulah kebijakan yang menyimpang?,” tanya dia.

Sebelum semuanya terlambat, para penguasa wajib berbicara jujur, berbenah dan membuka ruang dialog yang sejati. Temui massa aksi, dengarkan aspirasi mereka, dan tenangkan psikologis publik.

Rakyat berhak menuntut keadilan dan negara wajib menghadirkan jawaban, bukan represi. DEEP Indonesia menekankan, komunikasi politik negara tidak boleh sembrono.

“Diperlukan protokol komunikasi publik yang etis, terukur dan transparan, agar pernyataan para pejabat tidak lagi melukai perasaan rakyat,” terang Neni.

DEEP Indonesia menegaskan, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox Dei). Mengabaikannya sama dengan membiarkan demokrasi kehilangan ruhnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *